Selasa, 29 Mei 2018

Just Writing


Menulis bukan sekedar luahan rasa. Menulis bagai mengutip ribuan mutiara-mutiara hikmah, menghias langit-langit cakrawala dunia. Maka kali ini aku menyadari suatu hal yang mampu kutinggalkan di dunia yang fatamorgana ini, sebelum nafasku benar-benar habis tak bersisa. Menulis.

Maka benarlah nasihat Imam al-Ghazali "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis." 

Yah, menulis bagai candu. Aku tertagih untuk terus mengurai ribuan kata yang selalu memenuhi otakku. Bahkan tiap kali inspirasi untuk menulis itu selalu ada. Jika aku tak mampu menuliskannya dengan jabaran yang begitu panjang, maka cukup secuil kata dapat kusimpulkan menjadi story yang memenuhi Whatsapp. Uhuk...

Sempat terlintas di benakku, kenapa menulis menjadi dunia baruku dan akan seperti itu hingga kapan pun juga. In syaa Allah. Sebab, dengan menulis aku bebas meluahkan seluruh rasa yang kadang tertahan untuk kusampaikan pada orang lain.

Itulah kenapa aku berupaya memaksimalkan anugerah yang telah Allah berikan berupa 1 mulut dan 2 telinga. Itu artinya aku harus lebih banyak mendengarkan daripada lebih banyak berkata-kata (bicara). 

Just writing right? Karena menulis ga akan membuatku jatuh sakit, melainkan membuatku bangkit. 


Minggu, 27 Mei 2018

Someone Inside of Me: I Call Her, Little Sista

Bismillah

Mb Juke (Jule Keren), dirimu terus memintaku untuk menuliskan kisahku selama di sini kan? Kan kuperkenalkan dirimu mb, dengan seseorang yang hadir di hidupku.

Ntah bagaimana aku kan mengawali kisahku kali ini.

Pertemuan yang begitu mengesankan, hari-hari yang terjalani, waktu-waktu yang kian berlalu seperti simphoni yang begitu syahdu. Seakan telah berpuluh-puluh musim yang berganti saat ia ada di sisiku. Meskipun aku bukan siapa-siapa baginya, tapi bagiku dia begitu berharga. Jika pun suatu saat aku tak lagi membersamainya, maka doa-doaku tak akan berputus untuknya. In syaa Allah, kan kuselipkan namanya dalam doa-doaku. Selalu.

Kusebut dia Little Sista. 

Sungguh tak ada hari yang terlewati tanpa tingkah kekanakannya yang begitu menggemaskan. Kiyowo, lebih tepatnya seperti itu.

Ingin saja kukatakan padanya ...

“Hai Little Sista, pertalian kita memang bukan pertalian darah. Kita tidak terlahir dari satu rahim yang sama, tapi kau perlu tau bahwa rasa sayangku sebagai orang baru yang hadir di hidupmu kian tumbuh sejak kupersilahkan kau masuk ke dalam hatiku.”

***Signal Kebaikan

Seperti biasa, aku terbiasa membagi rasa yang sama pada orang lain tanpa pernah membeda-bedakannya. Ketika itu baik, maka kan kubagikan kebaikan itu. Tanpa terkecuali. Hingga pada suatu saat aku menangkap sebutlah “Signal Kebaikan” dari seorang yang baru saja kukenal. Dia yang kujuluki Little Sista.

Hari ke hari, signal kebaikan itu semakin menguat. Ketika kusimak ceritanya pada suatu ketika kami duduk bersama, “... Sejak saat itu, Aku ingin jadi lebih baik, Kak”. Setelah hari itu, hatiku semakin mantap untuk menggamit tangannya, mengajak serta dia untuk menjadi pribadi lebih baik. Meski aku... mungkin tak lebih baik dari yang tampak luarannya.

Begitu banyak waktu terlalui. Keikut sertaan dirinya dalam berbagai kegiatan kemanusiaan begitu menawan perhatian. Inikah dia?

***19 Januari

Deretan kisah yang sungguh tak kuketahui bagaimana keesokan harinya. Bagaimana kami akan melewati lorong waktu yang seakan menarik-narik raga kami untuk selalu bersama. Ntahlah. Aku hanya mampu bersyukur atas apa yang telah terizkikan padaku, baik itu pekerjaan yang baik, lingkungan yang baik, teman-teman yang baik dan lain sebagainya.

Seperti biasa langkah kami masih saja sibuk mengukir jejak-jejak kebaikan untuk membantu perjuangan saudara-saudari kami di Palestina. Mempersiapkan segala sesuatunya sebelum 19 Januari kala itu tiba. Aku juga tak menduga bahwa pada akhirnya semua getir perjalanan ntah mungkin bersebab lelah yang bertumpuk-tumpuk dan tak kuhirau hingga ia menggunung di pundak seketika luruh bersama cadasnya lisan kala itu. Ada yang terluka hatinya. Ah ... 

Sungguh pun aku tak menduga. Mengapa lisanku bagai anak panah yang lepas kendali. Sudah kuupayakan, menahan segala rasa yang berkecamuk di dada. Gemuruh yang tiba-tiba menggelegar di seluruh ruang-ruang hati, mendadak riuh tak bertepi. Dia yang merasakan gelegar itu, beranjak pergi dan aku hanya bungkam, bersendiri.

Kucoba untuk menghubunginya malam itu. Hendak bertanya “Apa yang telah terjadi?” Namun ia enggan menerima panggilan telephonku. Kucoba berbagai cara untuk meminta maaf, hingga beberapa hari setelah itu ia menjelaskan alasannya padaku, kenapa ia pergi tiba-tiba meninggalkan kerumunan orang-orang yang asik mengabadikan momen bersama setelah Aksi Peduli Palestina diselenggarakan.

***Setangkai Bahagia, Untukmu

Hal yang paling ingin kujaga dari jejak-jejak yang kutinggalkan adalah kenangan yang baik-baik saja. Amal yang hanya diketahui oleh Rabb-ku dan aku saja. Sebab ketika mata manusia melihat amalanku, betapa khawatirnya aku jika mata itu menyikapi dengan begitu takjub dan jika aku terjatuh pada rasa ujub... betapa malang nian nasib pahalaku. Bersusah payah kukumpulkan butir-butir kebaikan, hancur lebur hanya karena setitik rasa bangga pada hati yang mungkin saja ditunggangi oleh syaithan yang selalu saja berbisik-bisik, hendak memuji diri yang pada hakikatnya tidak layak untuk disanjung puji.
        
“Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Al-Ghasyiyah: 21-22)

“Nahnu du’at qobla ‘ala kulli syai’” setiap kita adalah Da’i sebelum menjadi apapun. Setiap manusia memiliki potensi diri untuk menyeru kebaikan setelah ia mengetahui satu kebaikan pula. Setelah ia mengilmui apapun tentang agama ini. Maka tak inginkah kita menjadi bagian orang-orang yang menyampaikan kebaikan, kebenaran, yang datangnya dari Allah dan lalu diperpanjang oleh Rasulullah Muhammad Saw?

Aku, memang bukan terlahir di keluarga yang kental akan nilai-nilai keagamaan, patuh pada perintah Tuhan. Keluargaku hanyalah keluarga biasa-biasa saja. Ayah dan Ibuku hanya menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Tak lebih. Bagaimana aku bisa mereguk nilai agama dari orangtuaku? Mustahil saja. Namun, giat bekerja mereka untuk mengantarkanku ke jenjang pendidikan tinggi sungguh menggugah hati. Jika saja aku tak lanjut kuliah kala itu, sungguh akulah orang yang paling merugi. Berpuluh-puluh tahun orangtuaku bekerja, mengucur keringat serta darahnya, pergi bekerja bahkan sebelum mentari membuka matanya dan kembali pulang di saat burung-burung juga telah penuh temboloknya. Mungkin pada sore itu orangtuaku dalam keadaan laparnya. Allah. Sayangi mereka berdua.

***

“Ingin kubawa bahagia, padamu Adindaku. Itulah yang ingin kulakukan setelah sempat kugores luka tepat di hatimu (sungguh aku tak inginkan hal itu).” Sebab sedari awal bahagia ini pun telah ada untukmu.

“Ketahuilah bahwa hari-hari yang kulewati bersamamu adalah bentuk perhatian dari seorang kakak pada adiknya. Ingin saja kujaga dirimu dari segala hal yang dapat melukaimu. Namun, itu juga tidak akan mendewasakanmu kalau melulu aku berada di sampingmu. Pun aku tak ingin mengekangmu, menjadikanmu layaknya robot yang bisa kuatur sekehendak hatiku, tidak. Aku ingin kau tumbuh dewasa dengan alaminya, sehingg kau mampu memetik hikmah dari setiap kejadian apakah itu sebentuk kebaikan atau keburukan, Adindaku. Aku hanya tak ingin memenjarakanmu, karena itulah tak kutunjukkan sikap protektifku padamu, Adindaku. Membebaskan jiwamu, perasaanmu. Hendak ke mana kau mau, silahkan Adindaku. Jika bersama yang lainnya kau bahagia, itu juga cukup membuatku bahagia. Berbahagialah jika kau dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangimu. Sesekali aku cukup melihatmu dari jarak yang mungkin berjauhan. Dan sesekali aku akan duduk di dekatmu, mendengarkan semua kisah-kisah manismu.”

*** Sebening hati

Semua kita berhak mendapat kesempatan untuk menjadi baik, di mata Allah tentunya. Jika saja manusia mengharap puji dari manusia lain maka kecewa akan menjadi hasil terpahit yang akan ditelannya. Namun, niat tulus ingin menjadi lebih baik tentunya bila diiringi dengan tindakan nyata maka hasilnya bukan hanya cinta Sang Maha Cinta saja yang akan didapat, cinta makhluk-Nya juga akan didapat.

Semakin aku mengenalnya semakin dalam rasa penasaranku padanya. Ntahlah, hanya saja dia begitu berbeda dari kebanyakan remaja-remaja tanggung yang kukenal atau yang ada di sekelilingku. Dari hal-hal terkecil sampai hal yang mungkin saja tidak pernah kutemui dari orang lain. Perhatian yang begitu tulus. Seakan meluluhkan kokohnya dinding keAkuan seorang Kak Indah el Qowiyyah.

Pernah, suatu malam aku bersama beberapa orang teman seorganisasi mengadakan rapat ulang hasil dari kegiatan yang telah kami adakan. Rapat berlangsung dari ba’da isya sampai menjelang pukul 11.00 pm. Namun, dia masih stand by menanti kabar sampainya aku dengan selamat di rumah. Meskipun hanya memantau dari balik layar Hp, sungguh begitu banyak rasa yang mengalir di dalamnya. Kekhawatiran, perhatian, dan lain sebagainya. Semua itu kini menjadi begitu berharga. Aku hanya ingin mengabadikan semua rasa yang pernah tumpah kala itu, sehingga kelak ketika kubuka kembali memori ini maka kan kudapati kenangan-kenangan yang begitu indah saat dia hadir di hidupku.

Ya, hatinya begitu bening. Niatnya untuk menjadi pribadi lebih baik juga bening. Putih. Bersih tanpa noda.

*** Waktu-waktu yang berlalu

Perlahan tapi pasti, kulihat begitu kuat keinginannya untuk berubah. Hand shock yang selalu menutup punggung tangannya, kaos kaki yang semakin sering digunakannya, dan rok... walaupun masih terasa ribet ketika dia mengenakannya. Katanya sih “Terlalu cewek.” Ahahaha you are so so.

Sempat terlintas di pikiranku, kenapa dia terlalu perhatian padaku. Sampai aku pernah menanyakan padanya “Gak bosan ngejapri Kakak terus?” lantas dengan polosnya dia menjawab “Gak Kak.” Ada kekhawatiran yang muncul di hatiku ketika itu. Aku takut menjadi penyebab jikalau waktunya habis hanya bersama Handphone miliknya. “Kapan waktumu untuk belajar, dek?”. Aku tak mampu mengatakan itu padanya, hanya mampu menepis kekhawatiran itu dari pikiranku, karena aku yakin dia pasti mampu membagi waktunya. Kapan harus belajar, kapan main bareng temen, kapan bersama orangtuanya, dan kapan megang Hpnya.

Jika kuingat-ingat kisah ketika dia bertamu ke rumahku saat itu, ada sesuatu yang menggelitik hatiku.  Namun cukuplah hanya aku yang tau dan mengenangnya dalam hati.

*** Bercermin bukan untuk mengagumi keindahan diri, tapi untuk memperbaiki diri

Kukisahkan kembali kisah yang kubaca dalam buku Dalam Dekapan Ukhwah tentang sebuah telaga dan lelaki yang selalu datang berkunjung disetiap pagi. Lelaki itu selalu berlutut di tepi telaga sambil mengagumi bayangannya yang terpantul di permukaan air. “Betapa gagahnya diriku.” Mungkin seperti itulah yang dia katakan pada dirinya sendiri.

Narcissus, namanya. Yang konon dikutuk oleh peri wanita yang dia tolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan, tanpa bisa memiliki.

Di tepi telaga itulah Narcissus selalu terpana akan anugerah ketampanan pada wajahnya. Terlena dengan bayang-bayang yang terpantul dan lalu dia lupa dengan segala tentang keinginan hidupnya. Sampai-sampai ia jatuh dan tenggelam.

Selesai.

Aku tak ingin seperti itu. Jatuh dan tenggelam karena mengagumi keindahan diri. Ntah itu amal-amal yang tak seberapa yang kulakukan atau lainnya. Tidak. Aku tak inginkan itu.

Dia, Little Sista. Menjadi cermin bagiku untuk terus memperbaiki diri. Memang aku lebih dewasa darinya, namun dialah sesungguhnya yang banyak mengajarkan kebaikan padaku. Bagaimana menyayangi seseorang, memberikan perhatian pada orang lain, mengkhawatirkan orang lain yang sama sekali tidak ada pertalian darah.

Ya, aku ingat pada hadis Rasulullah Saw. “Seorang di antara kalian tidak beriman jika belum bisa mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” Jleb... hei Ndah, itu loh yang dilakukan Little Sista padamu, bahkan dia lebih mengkhawatirkan dirimu kalau kau kenapa-kenapa. Allah.  Dia yang selalu meneteskan air matanya saat kau hendak pergi ntah mungkin ke luar kota dalam urusanmu yang tak seberapa. Ingin saja kubawa dia bersamaku daripada kulihat dia meneteskan air matanya karena kepergianku.

Atau ketika berjam-jam aku menunggu seseorang yang tidak kunjung datang pada saat itu dan pada akhirnya dia yang datang menghampiriku. Padahal dia sedang dalam keadaan kurang fit dan akulah yang hendak menjenguknya setelah bertemu seseorang yang kutunggu siang itu namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dia sempatkan menghampiriku untuk membersamaiku senja itu di dalam Mesjid berkubah hijau yang tak jauh dari rumahnya. Dia datang untukku. Bukan untuk meredakan gemuruh-gemuruh di dadaku, bukan. Hanya duduk di sampingku, menemaniku.

Kebayang mb?

Atau ketika aku ada di rumahnya. Siang menjelang dhuhur kala itu. Kami bertiga. Aku,  dia dan teman perempuannya, Siska. Masih begitu lekat, aku begitu ingat apa yang dikatakannya? “Allah aja kalau hamba-Nya berulang kali melakukan kesalahan, Dia tetap membukakan pintu kemaafan. Kenapa kita, hamba-Nya tidak bisa melakukan hal yang sama?”. Di saat itu, hatiku semakin mantap untuk terus membersamainya. Seakan jalan cahaya terus menerus terbuka, ntah disadarinya atau tidak bahwa aku memetik banyak buah yang manis darinya. Buah kebaikan.

*** Bukan yang terakhir kan?

“Laila, yang bener dong motonya!”

Hatiku sempat berbisik ketika pagi itu aku mengunjungi acara perpisahan di sekolahnya. “Maa syaa Allah, adindaku. Kau begitu sholehah. Semoga istiqomah yah!”. Yap sesaat ketika pandanganku berbalik arah dari yang semula memegang dan membaca sebuah buku, lalu mataku tertuju padanya pagi itu.

To be continue...