Rabu, 14 November 2018


Aku hanya sempat lupa bagaimana cara menggores pena, menumpahkan tintanya dan menjadikannya syair cinta.

Biarkan saja dulu begini, tanpa kata

Mungkin esok semua kata kembali utuh 

Kembali kan terurai bait-bait rindu

Di setiap penggalan kalimatku 




Di balik rindumu 

Rabu, 11 Juli 2018

Stay on the Track



Kata orang, "mencintai sesuatu itu ga boleh berlebihan karena kalau kamu kehilangan sesuatu itu kamu akan merasakan sakit."

Memang aku tak pernah berlebihan menyukai atau menyayangi sesuatu. Hanya saja aku mampu merawat barang-barang kesukaanku. Misalnya, dulu sempet punya sepeda merk Polygon dan PlayStation harga di atas sejuta (ga maksud riya, toh sekarang barangnya udah ga ada). Tahun 90-an benda-benda tersebut lumayan ga bisa kebeli lah. Ntu benda adalah pemberian alm abang Ipar saat aku mendapat peringkat 1 di kelas (lupa kelas berapa). 

Sebelum benda-benda tersebut jatuh ke tangan keponakanku yang cukup bijak (suka banget mekanikin barang-barang orang), akulah sang perawat benda-benda hingga usianya mencapai 10 an tahun. Awet, ga rusak. Setelah berpindah tangan, kini itu semua tinggal kenangan. Bangkainya saja tak kutemukan. Kurang lebih seperti itu.

Ups...?
Apa hubungannya 'gambar bertuliskan kata-kata' itu dengan orang-orang yang disayangi atau dicintai?

Secara psikologi mungkin aku belum membaca teori yang tepat, tapi kalau menilik kembali hadis Rasulullah Saw ternyata... 

“Seorang di antara kalian tidak beriman jika belum bisa mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." 

Beginilah Iman. Kita akan terilhami begitu banyak kebahagiaan, hati penuh kedamaian dan cinta-Nya menjadi penyembuh dari segala lara yang pernah terasa saat kaki berpijak di bumi tempat kita singgahi sementara.

Hadis itu berulang-ulang kupahami, kukaji melalui beberapa referensi dan akhirnya aku menemukan jawaban setelah berlalu satu masa ketika persaudaraanku diuji oleh-Nya. 

Ada hal-hal yang bisa kita lakukan sebagai manusia dan ada pula yang tidak bisa kita lakukan. Kata mb Erna "we can do anything but we can't do everything." Menggenggam hati misalnya. 

Orang-orang yang ada di sekeliling kita hanyalah titipan-Nya, mereka adalah buah keImanan kita. Jadi, jika suatu masa kita mendapati mereka berbeda, maka itu hanyalah akibat dari rombengnya Iman kita. 

Bukan mereka yang harus dipertanyakan, tapi pertanyakan Iman kita. Sikap mereka bukan hasil keinginan-keinginan kita, tapi efek dari Iman kita. Percayalah, Bila Iman kita naik dan terus naik maka bukan hanya cinta Sang Maha Pemilik cinta yang kita dapatkan, melainkan cinta semesta. 

Jadi, kalau hari gini masih ada temen-temen kita yang ngambek, coba kita evaluasi Iman kita! Lagi sehat atau lagi sakit? Kalau ditanya obat sakit hati apa? Jawabannya "al-Qur'an". Karena al-Qur'an itu kata Allah adalah penyembuh dari segala penyakit. 

Apa kesimpulannya? 

Kita merawat *Ukhuwah* memang agak berat yah kalau hanya satu sisi, tapi kalau dua sisi saling merawat... Efeknya dahsyat. Karena shahabatan ga cuma di dunia tapi sampe ke syurga-Nya. 

Semoga Allah senantiasa menganugerahkan nikmat persaudaraan karena Iman. Semakin banyak kawan, semakin banyak peluang berbagi kebaikan. Kenapa demikian? Karena syurga terlalu luas untuk dihuni bersendirian. 

Keep istiqomah! Stay on the track! Karena tugas kita hanya memberi dan mendo'akan. Selebihnya Allah yang mengeratkan.

Let's move to Jannah! 




Sabtu, 07 Juli 2018

a Happiness

Bismillah

Ada 3 hal yang akan membuat kita sebagai manusia menjadi pribadi yang berbahagia, sebagaimana nasihat Syeikh Mansur As Salimi yakni:

Yang pertama adalah orang-orang yang apabila diberi nikmat oleh Allah swt, dia bersyukur. Kedua, orang-orang yang ketika Allah uji, dia bersabar. Dan terakhir adalah orang-orang yang melakukan maksiat, kemudian dia bertaubat. 

Begitu banyak kehidupan yang Allah hidupi, namun tentunya Allah juga menguji melalui berbagai perantara-Nya yang tidak pernah kita sangka. Bisa jadi dari keluarga terdekat kita atau malah melalui orang-orang terdekat kita. 

Kita akan mencoba mengukur diri (Iman) melalui 3 hal yang telah disampaikan oleh Syeikh Mansur As Salimi di atas. Ketika diberi nikmat, dia bersyukur. 

Sudahkah kita bersyukur atas limpahan nikmat dan karunia yang Allah berikan pada kita setiap harinya? Mata yang berfungsi dengan baik, telinga untuk mendengar, mulut untuk menyampaikan segala hal yang terbesit di pikiran, kedua tangan untuk menyentuh atau memegang, kaki untuk melangkah ke mana jalan hendak dituju. Bukankah semua itu adalah kekayaan yang patut disyukuri? Tapi, banyak juga diantara kita saat ini yang enggan untuk bersyukur. 

Oleh karenanya, yuk mari sama-sama kita berbenah diri. Menjadi pribadi yang lebih banyak bersyukur atas segala pemberian-Nya. 

Ketika diuji, dia bersabar. Sesuatu yang baru saja kurenungi adalah tentang sabar. Di kesabaranku yang kusabari itu ada kesabaran. Sabar di atas sabar. Sabar yang tak berbatas, tak berlimit. Kalau diuji, sabar. Diuji lagi, sabar lagi. Hatta sabarku itu menjadi tunggangan mewah menuju ridha-Nya. 

Beginilah Iman. Maka Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan "Tidak mungkin ada Iman tanpa kesabaran.

Ketika bermaksiat, dia bersegera bertaubat. Bersegera menggapai keampunan-Nya adalah satu-satunya jalan untuk terbebas dari belenggu jahiliyyah. Kenapa Allah ciptakan syurga dan neraka? Kenapa banyak sekali diantara manusia yang menempuh jalan kenikmatan jika akhirnya tergelincir dalam jahannam? Naudzubillah.  

✍ Penulis hanya mentafakkuri diri. Sejauh apa kaki telah melangkah? Sebanyak apa luka yang pernah kutoreh? Sudahkah sabar menjadi tunggangan hati menuju ridha-Nya? Sudahkah diri kembali pada-Nya jika mungkin banyak sekali kekeliruan dalam niat yang sesungguhnya masih terhirup aroma dusta oleh-Nya? Allahu Akbar. Ya Qowiyy, quwwatina. 🍁

***

Aku tak memintamu untuk memahamiku
Melalui goresan-goresan penaku
Aku tidak memaksamu untuk mengertiku
Melalui penjelasan-penjelasanku
Tidak. 
Sesaat mungkin kita seerat jari telunjuk dan jari tengah
Sesaat kemudian kita bagai dua orang yang saling berjauhan 
Benarkah?
Ya, aku hanya mengerti sedikit saja
Menanamkan rasa sabar untuk terus terjaga
Meyakinkan diri kalau semua baik-baik saja 
atau kadang aku memaksa diri dan bertitah padanya
"Cobalah menjadi dirinya agar kau mengerti bagaimana memperjuangkan hidup. Memilih sebuah pilihan yang terkadang berlawanan dengan keinginan." 

Maaf, jika mencintaimu dengan caraku yang berbeda dari biasanya. 

Pudarnya cahaya. 7 Juli 18


Senin, 25 Juni 2018

Musim yang Berganti

Perlahan aku menyadari bahwa semua ini hanya tentang musim yang silih berganti. Keberadaanku juga demikian, tak menetap. Garis-garis hidupku pun telah terurai di mega server milik-Nya yang mutlak. Lahirku, perjumpaanku dengan orang-orang yang ada di sisiku, rezekiku, dan kematianku. Semuanya tercatat dan tersimpan rapih di sisi-Nya.

Terkadang batinku menolak atas semua yang tidak sesuai dengan keinginanku. Tapi aku juga menyadari bahwa semua yang kusuka (kuinginkan) belum tentu baik bagiku dan yang tidak kusuka (kuinginkan) belum tentu tidak baik bagiku. 

Sedih? Pastinya. Sebagai manusia yang selalu melakukan kesalahan, pasti akan merasa sedih bila sesuatu yang diinginkan belum tercapai atau mungkin saja Allah punya sesuatu yang terbaik dari apa yang diangankan. 

Maka jalan keluar terbaik dari itu semua adalah kembali pada-Nya. Menyabari dan mensyukuri segala pemberian-Nya, baik itu rasa bahagia, sedih, galau, rindu dan bahkan cinta. Sebagai mana surat cinta-Nya "Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati..." (An-Nahl: 127).

Jangan bersedih, Innallaha ma'ana (sesungguhnya Allah bersamaku) , innallaha ma'alladzinattaqau walladziina hum muhsinuun (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan).

Permasalahannya sekarang adalah banyak sekali diantara hamba-Nya yang kurang yakin kalau Allah itu deket banget sama hamba-Nya. Ketika Allah berikan musim semi (bahagia) yang berkepanjangan, seketika itu hamba lupa bahkan menjadi kufur untuk bersyukur. Atau ada pula diantaranya yang enggan berdo'a meminta pertolongan pada-Nya padahal Dialah pemilik alam semesta.

Nah, untuk meyakini bahwa Allah itu deket, senantiasa bersama hamba-Nya... Kembalilah pada-Nya. Lirik orang-orang yang semakin menuju takwa pada-Nya. Hadirkan Allah dalam setiap aktivitas kita. Hingga kita tak meragukan lagi bahwa Allahlah yang selalu perhatian ke hamba-Nya, mencintai hamba-Nya.

Oleh karenanya, maka kita yang telah merasa dicintai-Nya, akan siap dengan kondisi apapun. Sekalipun musim panas yang tak kunjung berganti hujan atau musim dingin yang tak kunjung berganti semi.


Wallahu a'lam.

Di bawah rinai, 
Dalam kerinduan 

Jumat, 22 Juni 2018

Q n A

Kali ini kuberi tema:

"Ditinggalkan Tanpa Alasan"

1. Jika seseorang pernah bersalah, apakah kau juga akan memperlakukan seseorang tersebut sesuai dengan apa yang dilakukannya?

"Mau pake logika atau pake Iman?"
"Kedua versi!"
"Baiklah. Pake Iman: Aku pernah bersalah, tapi aku tak menghukumi seseorang yang bersalah sesuai dengan apa yang pernah dilakukannya. Aku membalasnya dengan kebaikan. Analogikanya seperti ini, ketika kau melempar pohon mangga, maka akan kau dapati buahnya. Begitu juga, memperlakukan seseorang. Ketika mereka melakukan kesalahan, tegur dan lalu tetap melakukan kebaikan padanya.
Pake logika: "Orang lain melakukan kesalahan, kan kubalas apa yang pernah dilakukannya padaku. (Ini jawaban terpedih, ga pake hati :( tidak untuk ditiru)

2. Jika seseorang hanya memilih berdiam diri, sementara kau meninggalkannya dalam keadaan serba tanda tanya... Apakah kau tega?

"Sekeras-kerasnya diriku memperlakukan seseorang, aku pasti menyadari kesalahanku dan lalu meminta maaf. Tak akan kubiarkan seseorang diam dalam ketidaktahuannya. Ini adalah momen yang menyesakkan :( (Aku pernah)

Q n A hari ini cukup. Sebab seseorang tiba-tiba bertanya padaku. Ambil yang baiknya saja :)

Rabu, 20 Juni 2018

Awal yang Manis (Hijrah)

Bismillah...

Pagi ini kan kusuguhkan secangkir kisah manis perjalananku kemarin. Sebab, tak ada yang lebih manis ketika seseorang dipertemukan oleh Allah dalam rangka untuk terus menuju takwa pada-Nya.

Kan awali dengan hadis Rasulullah Saw, "Cintailah sesuatu (kebaikan) untuk orang lain, sebagaimana kamu mencintainya untuk dirimu, niscaya kamu menjadi muslim (yang baik)." (H.R Tirmidzi)

Pagi itu kuayun langkah hanya untuk menemui seseorang karena sebelumnya bliau sempat menjapriku untuk tujuan yang satu, duduk bersila bersama. Membahas satu agenda. Setelah sampai di rumahnya, kami pun ngobrol ringan dan terkadang sedikit serius.

"Kau tau Ndah, bliau bilang padaku tentang dirimu... 'Dia itu seperti biji kurma yang tertanam di bawah tanah,  tertimpa kerikil dan bahkan bebatuan besar hingga tak tampak pada orang banyak.'" Ucapnya padaku.

Aku hanya mengangguk, menyimak bait demi bait ucapannya.

"Kau mengerti maksud kakak kan?" Timpalnya

"Aku sangat mengerti, Kak."

"Kukatakan pada abangku, kalau beberapa waktu lalu aku kehilangan Kak X, maka kini aku akan kehilanganmu Ndah. Kakak sudah punya firasat kalau kau akan pergi dari sini. Melepasmu begitu hebat rasanya." Terangnya lebih lanjut.

Ah, aku seakan ingin menghentikan langkahku dan bertahan di sini. Mataku terasa panas dan kurasa ada yang menggenang di mataku. Hanya saja kutahan agar genangan itu tak tertumpah di hadapannya.

"Kau tau kan Kak, bagaimana kisahku selama di sini tanpa kuberi tahu padamu. Sejak awal, setelah selesai sidang Thesis aku belum memutuskan sepenuhnya untuk kembali pulang. Namun, karena waktu itu Babah sakit-sakitan, aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Bahkan aku tak kembali untuk wisuda."

"Sudah final keputusanmu, dek?"

"In syaa Allah, semoga ini yang terbaik. Kan kuobati dulu luka-luka yang kudapati dari perjalananku selama ini. Maafkan aku Kak."

"Baiklah, semoga Allah meridhai. Kan kucari kain baru, untuk kelak menjadi mitraku selama di sini. Sebab aku yakin Allah tidak akan membiarkan aku sendiri. Ah, sesungguhnya kaulah yang menjadi alasan bliau untuk mendirikan proyek itu, Ndah."

Kurasakan percakapan kami semakin dalam dan terasa berat. Aku pun semakin tak banyak berkata-kata. Diam, menjadi alternatif terbaik. Tak berapa lama terdengar suara seseorang datang dengan mengucapkan salam. Kujawab salam itu sambil kulihat siapa yang datang menyusul untuk bertamu.

"Allah, ketemu lagi." Ucapku

"Indaaah." Sapanya

"Ai Ai... Tuhkan kalau jodoh ketemu, tanpa japrian ya ketemu kan? Maa syaa Allah, garisan takdir-Nya mempertemukan kita kembali dalam silaturahiim ini."

Bla bla bla... Ai, dulunya temen SMP sampe SMA. Setelah tamat kita ga pernah kontakan lagi. Gimana mau kontakan, selama satu sekolahan kita ga pernah ngerasa deket. Tapi, sekarang getaran pertemuannya sudah berbeda. Dalam bingkai ukhuwah. Sama-sama sudah hijrah ke arah yang lebih baik. Begitu juga dengan Intan, temen SMA (sekelas). Kita dulunya ga pernah satu. Dia dengan barisan gengnya, dan aku dalam barisan anak-anak yang doyan belajar.

"Luar biasa ya Ndah, sekarang Intan ngerasa lebih baik. Nutup aurat udah ga ribet lagi. Ikut halaqah juga, pas ketemu Kak x langsung ngeklik gitu. Kalau ga halaqah kayak ada yang kurang."

"Maa syaa Allah, aku seneng ngedengerinnya."

"Kenapa coba ga dari dulu pas SMA. Dirimu kan dulu sering ikut Rohis kan? Kenapa coba ga ngajakin aku?"

"Lah, syukuri aja. Mungkin memang baru sekarang hidayah Allah nyentuh hatimu. Inget ini loh ya! 'Ketika hati kita terbesit untuk menjadi lebih baik, itu tandanya Allah lagi sayang sama kita.' Jadi, hidayah itu kudu dijaga yah! Jangan sampe hidayah itu udah datang tapi balik lagi. Ga membekas di diri kita. Kayak main-main aja ke Allah. Ga mau gitu kan? Ntar kalau Allah ga peduli lagi sama kita gimana coba? Kita loh yang butuh Allah. Allah mah ga butuh. Cuma lebih sadar diri ajalah, kita udah di kasih banyak nikmat, eh malah ga bersyukur. Jangan sampe hati kita ketutup lantas jadi kufur nikmat ke Allah. Naudzubillah."

"Iya ya Ndah."

"Aku juga masih terus memperbaiki diri loh Ntan."

"Senengnya ketemu kalian di sini. Kayaknya beda banget lah. Dulu temen-temen kita itu kayak lebih banyak memang ga pake hati kali ya! Jadi ga berasa gitu. Sekarang ketemu kalian, Ya Allah rasanya. Nikmat banget."

"Alhamdulillah."

Ngobrol-ngobrol tentang "Hijrah" memang ga akan ada habisnya. Kisahnya juga berbeda-beda. Pada intinya, ga ada kata terlambat untuk hijrah ke arah yang lebih baik. Selama Allah masih memberikan kesempatan untuk hidup, maka ketika hidayah datang bertamu ke hatimu... Sambutlah dengan sehangat seperti kau menyambut tamu agung yang begitu hebat. Kau persiapan segala sesuatunya, menjaga dan merawat hidayah itu layaknya kau menjaga balita yang lemah tak berdaya. Teramat berhati-hati.

Berbeda dengan Ai, sepanjang perjalanan pulang dia ngobrol banyak hal, termasuk cerita hijrahnya.

"Ai, dulu sebelum hijrah... Minta izin ke Mamak sama Bobos buat hijrah. Tanggapan mereka sangat positif, malah Bobos menasehati kalau mau hijrah jangan setengah-setengah. Setelah jilbab dan pakaian Ai rapih, Ai bingung ndah... Mau dibawa ke mana hijrah ini? Masak hijrah tapi hati Ai kering. Hijrah tapi kok ga ada ilmunya. Setelah itu Ai cari-cari kawan yang tau di mana tempat ngaji. Eh Allah itu sweet banget ngemudahin jalan Ai, Ketemu dek Via. Nah, dek Via itu yang menjembantani Ai ikut halaqah bareng Kak x."

"Ya Allah, kok hari ini begitu sweet. Seakan aku juga mengenang awal hijrahku." Bisik hatiku.

"Tapi sayang, pas kita baru ketemu sebentar... Kamu malah mau pergi lagi ndah. Kita tetep jaga komunikasi ya Ndah!"

"In syaa Allah, Ai."

***

Mungkin kisahku cukup sampai di sini. Kelak, cerita baru akan berdatangan mendekapku. Ntah akan setenang atau seriuh apa, aku juga ga akan pernah tau. Yang jelas, kusyukuri semua kisah manis pahit selama aku di sini dan untuk kemudian kan kutatap wajah matahari, bila kini aku masih merangkak di lorong gelap tak bercahaya dan tak bertepi.

Kukatakan pada seseorang waktu itu...
"Someone kalau mau pergi, biarpun banyak alasan yg datang pasti tetep pergi. Dan kalau someone mau bertahan, walau hanya satu alasan yg ngebuat dia bertahan pasti dia bertahan. Gitu kan mb?"

"Waaah, itu mah Bang Tere banget."

Wallahu a'lam.


Ai, Intan Binjai, Intan Kampung Dalam dan dek Via (Syudah kabur pulang duluan). Thanks buat perjalanan hari kemarin. Semoga Allah semakin mencintai kalian yang telah membuatku semakin mencintai-Nya.



Senin, 18 Juni 2018

the Last?

Bismillah...


“Izinkan aku melafazkan kata... bicara hati yang mudah diterjemah...” Setanggi Syurga


Lagu ini mengiring tulisan tak bernada, kalimat – kalimatnya tak berbait dan tak bersajak. Tulisan ini hanya secuil episode bak jelaga yang berhamburan, terus saja berterbangan. Aku sampai lupa bagaimana rasa, warna, dan seberapa banyak cerita yang kupunya untuk kutuang pada cawan ini. Mungkin saja ini adalah rasa terakhir, sebab sedetik kemudian aku pun tak pernah tahu bagaimana cerita masa depan.

***


“Tunaikan hutangmu, Ndah!” Pinta mb Juke padaku.

“Baiklah, akan lunasi 2 episode menjadi satu. Two in one.” Jawabku 


Ini adalah ramadhan kedua bagiku sejak langkahku kembali menapaki tanah kelahiranku, sejak lidah kembali mencicipi nikmatnya masakan rumah setelah beberapa tahun merantau, ngilmu. Kurang lebih tiga setengah tahun kuhabiskan di Kota Medan dan satu tahun delapan bulan kuhabiskan di Kota Malang.


Setahun sudah aku mengukir jejak – jejak kehidupan di Kota kecil ini. Kuala Simpang dan sekitarnya. Berharap ketika aku kembali maka nafas ini dapat lebih lega setelah sekian lamanya di luar kota, namun ternyata malah sebaliknya. Ya, kuakui diri ini begitu lemah, tidak memiliki kekuatan apapun kecuali atas pertolongan, kekuatan dari Allah Yang Maha Kuasa.


“Bagaimana suasana Ramadhanmu di sana, Ndah?”

“10 Ramadhan pertama, kuhabiskan waktu di rumah. 10 Ramadhan kedua, kuhabiskan di Pondok Tahfidz Qur’an dan Pesantren Kilat (Sanlat). 10 Ramadhan ketiga, kuhabiskan dengan mengemis keampunan-Nya. Bermalam – malam, bersama-Nya.”


Di Ramadhan ini, ga ada yang kulakukan selain terus menerus memuhasabahi diri. Banyak sekali catatan – catatan perjalanan yang pada hakikatnya masih tak kujumpai ketenangan pada diri. Semakin hari semakin kekhawatiran mencuat di hati. Adakah amalku telah diridhai oleh-Nya selama ini?


“Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa’fuanni... Ya Rabb.” Pintaku pada-Nya, selalu.


Sebab dosa – dosa itu lebih hitam dan kelam. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana kelak pertanggungjawabannya di hadapan Sang Maha Pengadil. Ah, ntahlah... 

Terhadap orang – orang yang pernah dengan sengaja atau tidak sengaja kusakiti hatinya. Terhadap diriku sendiri yang masih belum mampu mengontrol diri. Terhadap Imanku yang masih saja naik dan turun. Ingin saja kuselesaikan semua ini, sengketa di dunia. Sebab, damailah yang kucari.


Menjadi Instruktur Sanlat itu sesuatu. :) Hahah 
Aku lebih banyak diam. Diam - diam mencari peserta terbaik. :) Dua yang di belakangku, yang lebih aktif bercerita di forum. Kita tertakdirkan bertemu lagi menjadi Instruktur Sanlat di SMA 3 Kejuruan Muda, khususnya @RamaAlFathana @ElaElShirazi @UstAwal @Dimas


 5 Intstruktur sudah cukup. :) 

Berikan Ramadhan Terbaik. Road show Syeikh dari Palestina, Syeikh Aiman. #ACT

Stand by di Masjid pertama, Masjdi Istiqomah.

Masjid kedua, Masjid Nurhasanah

Just for Palestine.


Ramadhan kali ini menjadi titik muhasabah, introspeksi diri. Begitu banyak hal yang telah kulalui. Semua itu tak lain dan tak bukan adalah tentang orang – orang yang pernah membersamai langkah yang tertatih ini. Bukan tentang diri ini. Ujian terberat yang masih saja harus kurenungi, kumuhasabahi adalah tentang suatu ujian. Ujian itu tak pernah meminta materi padaku, tak pernah menyakiti fisikku, tak pernah melukai. Sama sekali. Namun, ujian itu seakan menyandera diriku, waktuku, fikiranku, dan bahkan keteguhan Imanku.

Tentang sebuah perjalanan, ketika langkahku terikat untuk terus membersamai langkah – langkah perjuangan rakyat Palestina. Merasai beratnya deru nafas mereka yang setiap saat tak henti dari kekejaman tirani, penguasa dhalim dan tamak akan pemberian Ilahi.

Aku sangat bersyukur pada-Nya. Tentang ujian yang silih berganti, semakin menguatkan hati, meneguhkan langkah yang tertatih, dan menguatkan tekad untuk kembali melesat. Mungkin saat ini aku sedang mundur, mengatur nafas dan menata langkah untuk kemudian melompat lebih jauh. Ya, aku ingat sekali dengan ucapan - ucapanku waktu itu. "Jadilah engkau pengembara seperti Ibnu Batutah. Kepakkan sayapmu seluas - luasnya." 

Episode ini seakan tak akan pernah terulang lagi. Ia bagai semburat jingga di ufuk Barat, hendak mengakhiri waktu perjalanan cahaya dan kembali menjumpai gelap, lalu setelahnya mungkin saja kembali terbit perjalanan baru, kisah – kisah manis baru yang akan kulalui dengan orang – orang baru atau tetap dengan orang – orang yang lama. Jika pun masih dibersamai dengan jiwa – jiwa lama, semoga kemesraan yang telah lalu masih terus ada, bahkan menjadi nyala semangat yang semakin benderang menyinar seluruh keabadian kisah – kisahku.

Terimakasih pada semua yang telah mengenalku selama di sini. Membersamai langkah lunglaiku. Mungkin saja banyak sekali catatan hitam ketika kita bersama, namun maafkanlah... karena aku hanya manusia biasa. Bukan malaikat yang terpisah dari kawanannya.

Kelak, jika masih langkahku terjejaki di sini... jangan pernah henti untuk kembali membersamai perjuangan ini. Terimalah tanda kasih dan maaf yang terdalam. Kalian yang telah membersamai langkahku, telah kuanggap menjadi bahagian berarti di jalan setapak ini. Kita membantu meringankan beban saudara kita di Palestina, hanya karena meraih ridha-Nya. Kelak jika langkahku tersandung di hari pembalasan, mintalah pada-Nya agar kita kembali bersama - sama. Menikmati jerih payah perjuangan kita. Manis pahit langkah mungil kita, hanya untuk Palestina.

Taqabbalallahu minna wa minkum
Shiyamana wa shiyamakum

Sukarakyat, 18 Juni 2018 | 4 Syawal 1439 H
Di bawah langit hitam





Selasa, 29 Mei 2018

Just Writing


Menulis bukan sekedar luahan rasa. Menulis bagai mengutip ribuan mutiara-mutiara hikmah, menghias langit-langit cakrawala dunia. Maka kali ini aku menyadari suatu hal yang mampu kutinggalkan di dunia yang fatamorgana ini, sebelum nafasku benar-benar habis tak bersisa. Menulis.

Maka benarlah nasihat Imam al-Ghazali "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis." 

Yah, menulis bagai candu. Aku tertagih untuk terus mengurai ribuan kata yang selalu memenuhi otakku. Bahkan tiap kali inspirasi untuk menulis itu selalu ada. Jika aku tak mampu menuliskannya dengan jabaran yang begitu panjang, maka cukup secuil kata dapat kusimpulkan menjadi story yang memenuhi Whatsapp. Uhuk...

Sempat terlintas di benakku, kenapa menulis menjadi dunia baruku dan akan seperti itu hingga kapan pun juga. In syaa Allah. Sebab, dengan menulis aku bebas meluahkan seluruh rasa yang kadang tertahan untuk kusampaikan pada orang lain.

Itulah kenapa aku berupaya memaksimalkan anugerah yang telah Allah berikan berupa 1 mulut dan 2 telinga. Itu artinya aku harus lebih banyak mendengarkan daripada lebih banyak berkata-kata (bicara). 

Just writing right? Karena menulis ga akan membuatku jatuh sakit, melainkan membuatku bangkit. 


Minggu, 27 Mei 2018

Someone Inside of Me: I Call Her, Little Sista

Bismillah

Mb Juke (Jule Keren), dirimu terus memintaku untuk menuliskan kisahku selama di sini kan? Kan kuperkenalkan dirimu mb, dengan seseorang yang hadir di hidupku.

Ntah bagaimana aku kan mengawali kisahku kali ini.

Pertemuan yang begitu mengesankan, hari-hari yang terjalani, waktu-waktu yang kian berlalu seperti simphoni yang begitu syahdu. Seakan telah berpuluh-puluh musim yang berganti saat ia ada di sisiku. Meskipun aku bukan siapa-siapa baginya, tapi bagiku dia begitu berharga. Jika pun suatu saat aku tak lagi membersamainya, maka doa-doaku tak akan berputus untuknya. In syaa Allah, kan kuselipkan namanya dalam doa-doaku. Selalu.

Kusebut dia Little Sista. 

Sungguh tak ada hari yang terlewati tanpa tingkah kekanakannya yang begitu menggemaskan. Kiyowo, lebih tepatnya seperti itu.

Ingin saja kukatakan padanya ...

“Hai Little Sista, pertalian kita memang bukan pertalian darah. Kita tidak terlahir dari satu rahim yang sama, tapi kau perlu tau bahwa rasa sayangku sebagai orang baru yang hadir di hidupmu kian tumbuh sejak kupersilahkan kau masuk ke dalam hatiku.”

***Signal Kebaikan

Seperti biasa, aku terbiasa membagi rasa yang sama pada orang lain tanpa pernah membeda-bedakannya. Ketika itu baik, maka kan kubagikan kebaikan itu. Tanpa terkecuali. Hingga pada suatu saat aku menangkap sebutlah “Signal Kebaikan” dari seorang yang baru saja kukenal. Dia yang kujuluki Little Sista.

Hari ke hari, signal kebaikan itu semakin menguat. Ketika kusimak ceritanya pada suatu ketika kami duduk bersama, “... Sejak saat itu, Aku ingin jadi lebih baik, Kak”. Setelah hari itu, hatiku semakin mantap untuk menggamit tangannya, mengajak serta dia untuk menjadi pribadi lebih baik. Meski aku... mungkin tak lebih baik dari yang tampak luarannya.

Begitu banyak waktu terlalui. Keikut sertaan dirinya dalam berbagai kegiatan kemanusiaan begitu menawan perhatian. Inikah dia?

***19 Januari

Deretan kisah yang sungguh tak kuketahui bagaimana keesokan harinya. Bagaimana kami akan melewati lorong waktu yang seakan menarik-narik raga kami untuk selalu bersama. Ntahlah. Aku hanya mampu bersyukur atas apa yang telah terizkikan padaku, baik itu pekerjaan yang baik, lingkungan yang baik, teman-teman yang baik dan lain sebagainya.

Seperti biasa langkah kami masih saja sibuk mengukir jejak-jejak kebaikan untuk membantu perjuangan saudara-saudari kami di Palestina. Mempersiapkan segala sesuatunya sebelum 19 Januari kala itu tiba. Aku juga tak menduga bahwa pada akhirnya semua getir perjalanan ntah mungkin bersebab lelah yang bertumpuk-tumpuk dan tak kuhirau hingga ia menggunung di pundak seketika luruh bersama cadasnya lisan kala itu. Ada yang terluka hatinya. Ah ... 

Sungguh pun aku tak menduga. Mengapa lisanku bagai anak panah yang lepas kendali. Sudah kuupayakan, menahan segala rasa yang berkecamuk di dada. Gemuruh yang tiba-tiba menggelegar di seluruh ruang-ruang hati, mendadak riuh tak bertepi. Dia yang merasakan gelegar itu, beranjak pergi dan aku hanya bungkam, bersendiri.

Kucoba untuk menghubunginya malam itu. Hendak bertanya “Apa yang telah terjadi?” Namun ia enggan menerima panggilan telephonku. Kucoba berbagai cara untuk meminta maaf, hingga beberapa hari setelah itu ia menjelaskan alasannya padaku, kenapa ia pergi tiba-tiba meninggalkan kerumunan orang-orang yang asik mengabadikan momen bersama setelah Aksi Peduli Palestina diselenggarakan.

***Setangkai Bahagia, Untukmu

Hal yang paling ingin kujaga dari jejak-jejak yang kutinggalkan adalah kenangan yang baik-baik saja. Amal yang hanya diketahui oleh Rabb-ku dan aku saja. Sebab ketika mata manusia melihat amalanku, betapa khawatirnya aku jika mata itu menyikapi dengan begitu takjub dan jika aku terjatuh pada rasa ujub... betapa malang nian nasib pahalaku. Bersusah payah kukumpulkan butir-butir kebaikan, hancur lebur hanya karena setitik rasa bangga pada hati yang mungkin saja ditunggangi oleh syaithan yang selalu saja berbisik-bisik, hendak memuji diri yang pada hakikatnya tidak layak untuk disanjung puji.
        
“Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Al-Ghasyiyah: 21-22)

“Nahnu du’at qobla ‘ala kulli syai’” setiap kita adalah Da’i sebelum menjadi apapun. Setiap manusia memiliki potensi diri untuk menyeru kebaikan setelah ia mengetahui satu kebaikan pula. Setelah ia mengilmui apapun tentang agama ini. Maka tak inginkah kita menjadi bagian orang-orang yang menyampaikan kebaikan, kebenaran, yang datangnya dari Allah dan lalu diperpanjang oleh Rasulullah Muhammad Saw?

Aku, memang bukan terlahir di keluarga yang kental akan nilai-nilai keagamaan, patuh pada perintah Tuhan. Keluargaku hanyalah keluarga biasa-biasa saja. Ayah dan Ibuku hanya menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Tak lebih. Bagaimana aku bisa mereguk nilai agama dari orangtuaku? Mustahil saja. Namun, giat bekerja mereka untuk mengantarkanku ke jenjang pendidikan tinggi sungguh menggugah hati. Jika saja aku tak lanjut kuliah kala itu, sungguh akulah orang yang paling merugi. Berpuluh-puluh tahun orangtuaku bekerja, mengucur keringat serta darahnya, pergi bekerja bahkan sebelum mentari membuka matanya dan kembali pulang di saat burung-burung juga telah penuh temboloknya. Mungkin pada sore itu orangtuaku dalam keadaan laparnya. Allah. Sayangi mereka berdua.

***

“Ingin kubawa bahagia, padamu Adindaku. Itulah yang ingin kulakukan setelah sempat kugores luka tepat di hatimu (sungguh aku tak inginkan hal itu).” Sebab sedari awal bahagia ini pun telah ada untukmu.

“Ketahuilah bahwa hari-hari yang kulewati bersamamu adalah bentuk perhatian dari seorang kakak pada adiknya. Ingin saja kujaga dirimu dari segala hal yang dapat melukaimu. Namun, itu juga tidak akan mendewasakanmu kalau melulu aku berada di sampingmu. Pun aku tak ingin mengekangmu, menjadikanmu layaknya robot yang bisa kuatur sekehendak hatiku, tidak. Aku ingin kau tumbuh dewasa dengan alaminya, sehingg kau mampu memetik hikmah dari setiap kejadian apakah itu sebentuk kebaikan atau keburukan, Adindaku. Aku hanya tak ingin memenjarakanmu, karena itulah tak kutunjukkan sikap protektifku padamu, Adindaku. Membebaskan jiwamu, perasaanmu. Hendak ke mana kau mau, silahkan Adindaku. Jika bersama yang lainnya kau bahagia, itu juga cukup membuatku bahagia. Berbahagialah jika kau dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangimu. Sesekali aku cukup melihatmu dari jarak yang mungkin berjauhan. Dan sesekali aku akan duduk di dekatmu, mendengarkan semua kisah-kisah manismu.”

*** Sebening hati

Semua kita berhak mendapat kesempatan untuk menjadi baik, di mata Allah tentunya. Jika saja manusia mengharap puji dari manusia lain maka kecewa akan menjadi hasil terpahit yang akan ditelannya. Namun, niat tulus ingin menjadi lebih baik tentunya bila diiringi dengan tindakan nyata maka hasilnya bukan hanya cinta Sang Maha Cinta saja yang akan didapat, cinta makhluk-Nya juga akan didapat.

Semakin aku mengenalnya semakin dalam rasa penasaranku padanya. Ntahlah, hanya saja dia begitu berbeda dari kebanyakan remaja-remaja tanggung yang kukenal atau yang ada di sekelilingku. Dari hal-hal terkecil sampai hal yang mungkin saja tidak pernah kutemui dari orang lain. Perhatian yang begitu tulus. Seakan meluluhkan kokohnya dinding keAkuan seorang Kak Indah el Qowiyyah.

Pernah, suatu malam aku bersama beberapa orang teman seorganisasi mengadakan rapat ulang hasil dari kegiatan yang telah kami adakan. Rapat berlangsung dari ba’da isya sampai menjelang pukul 11.00 pm. Namun, dia masih stand by menanti kabar sampainya aku dengan selamat di rumah. Meskipun hanya memantau dari balik layar Hp, sungguh begitu banyak rasa yang mengalir di dalamnya. Kekhawatiran, perhatian, dan lain sebagainya. Semua itu kini menjadi begitu berharga. Aku hanya ingin mengabadikan semua rasa yang pernah tumpah kala itu, sehingga kelak ketika kubuka kembali memori ini maka kan kudapati kenangan-kenangan yang begitu indah saat dia hadir di hidupku.

Ya, hatinya begitu bening. Niatnya untuk menjadi pribadi lebih baik juga bening. Putih. Bersih tanpa noda.

*** Waktu-waktu yang berlalu

Perlahan tapi pasti, kulihat begitu kuat keinginannya untuk berubah. Hand shock yang selalu menutup punggung tangannya, kaos kaki yang semakin sering digunakannya, dan rok... walaupun masih terasa ribet ketika dia mengenakannya. Katanya sih “Terlalu cewek.” Ahahaha you are so so.

Sempat terlintas di pikiranku, kenapa dia terlalu perhatian padaku. Sampai aku pernah menanyakan padanya “Gak bosan ngejapri Kakak terus?” lantas dengan polosnya dia menjawab “Gak Kak.” Ada kekhawatiran yang muncul di hatiku ketika itu. Aku takut menjadi penyebab jikalau waktunya habis hanya bersama Handphone miliknya. “Kapan waktumu untuk belajar, dek?”. Aku tak mampu mengatakan itu padanya, hanya mampu menepis kekhawatiran itu dari pikiranku, karena aku yakin dia pasti mampu membagi waktunya. Kapan harus belajar, kapan main bareng temen, kapan bersama orangtuanya, dan kapan megang Hpnya.

Jika kuingat-ingat kisah ketika dia bertamu ke rumahku saat itu, ada sesuatu yang menggelitik hatiku.  Namun cukuplah hanya aku yang tau dan mengenangnya dalam hati.

*** Bercermin bukan untuk mengagumi keindahan diri, tapi untuk memperbaiki diri

Kukisahkan kembali kisah yang kubaca dalam buku Dalam Dekapan Ukhwah tentang sebuah telaga dan lelaki yang selalu datang berkunjung disetiap pagi. Lelaki itu selalu berlutut di tepi telaga sambil mengagumi bayangannya yang terpantul di permukaan air. “Betapa gagahnya diriku.” Mungkin seperti itulah yang dia katakan pada dirinya sendiri.

Narcissus, namanya. Yang konon dikutuk oleh peri wanita yang dia tolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan, tanpa bisa memiliki.

Di tepi telaga itulah Narcissus selalu terpana akan anugerah ketampanan pada wajahnya. Terlena dengan bayang-bayang yang terpantul dan lalu dia lupa dengan segala tentang keinginan hidupnya. Sampai-sampai ia jatuh dan tenggelam.

Selesai.

Aku tak ingin seperti itu. Jatuh dan tenggelam karena mengagumi keindahan diri. Ntah itu amal-amal yang tak seberapa yang kulakukan atau lainnya. Tidak. Aku tak inginkan itu.

Dia, Little Sista. Menjadi cermin bagiku untuk terus memperbaiki diri. Memang aku lebih dewasa darinya, namun dialah sesungguhnya yang banyak mengajarkan kebaikan padaku. Bagaimana menyayangi seseorang, memberikan perhatian pada orang lain, mengkhawatirkan orang lain yang sama sekali tidak ada pertalian darah.

Ya, aku ingat pada hadis Rasulullah Saw. “Seorang di antara kalian tidak beriman jika belum bisa mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” Jleb... hei Ndah, itu loh yang dilakukan Little Sista padamu, bahkan dia lebih mengkhawatirkan dirimu kalau kau kenapa-kenapa. Allah.  Dia yang selalu meneteskan air matanya saat kau hendak pergi ntah mungkin ke luar kota dalam urusanmu yang tak seberapa. Ingin saja kubawa dia bersamaku daripada kulihat dia meneteskan air matanya karena kepergianku.

Atau ketika berjam-jam aku menunggu seseorang yang tidak kunjung datang pada saat itu dan pada akhirnya dia yang datang menghampiriku. Padahal dia sedang dalam keadaan kurang fit dan akulah yang hendak menjenguknya setelah bertemu seseorang yang kutunggu siang itu namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dia sempatkan menghampiriku untuk membersamaiku senja itu di dalam Mesjid berkubah hijau yang tak jauh dari rumahnya. Dia datang untukku. Bukan untuk meredakan gemuruh-gemuruh di dadaku, bukan. Hanya duduk di sampingku, menemaniku.

Kebayang mb?

Atau ketika aku ada di rumahnya. Siang menjelang dhuhur kala itu. Kami bertiga. Aku,  dia dan teman perempuannya, Siska. Masih begitu lekat, aku begitu ingat apa yang dikatakannya? “Allah aja kalau hamba-Nya berulang kali melakukan kesalahan, Dia tetap membukakan pintu kemaafan. Kenapa kita, hamba-Nya tidak bisa melakukan hal yang sama?”. Di saat itu, hatiku semakin mantap untuk terus membersamainya. Seakan jalan cahaya terus menerus terbuka, ntah disadarinya atau tidak bahwa aku memetik banyak buah yang manis darinya. Buah kebaikan.

*** Bukan yang terakhir kan?

“Laila, yang bener dong motonya!”

Hatiku sempat berbisik ketika pagi itu aku mengunjungi acara perpisahan di sekolahnya. “Maa syaa Allah, adindaku. Kau begitu sholehah. Semoga istiqomah yah!”. Yap sesaat ketika pandanganku berbalik arah dari yang semula memegang dan membaca sebuah buku, lalu mataku tertuju padanya pagi itu.

To be continue...


Minggu, 22 April 2018

Aku: Butir Bening yang Berjatuhan



Bismillah

dan waktu telah mendekati dhuha
Aku masih tak beranjak dari kesendirianku
Menahan suatu rasa yang tak mampu kuterka
Hendak ke manakah berlabuhnya?

Kuhadapkan wajahku pada cermin itu
Aku malu...
Ntah perasaan apa yang tiba-tiba menyeruak
memenuhi dada
Ingin sekali kudengar jawaban atas tanya
"Ya Rasulullah, bagaimana engkau mampu memberi begitu banyak cinta?"
"Ya Rasulullah, bagaimana engkau mampu menjadikan semua sahabat cemerlang seperti bebintang?"

Ingin diri menyamai sedikit saja 
Mampu memberi cinta pada semesta atas keridhaan-Nya
Namun nyatanya...
Laa quwwata illabillah

Pada kalam-Mu yang kuingati
Maka sesungguhnya aku milik-Mu
dan sesegera mungkin akan kembali dalam pelukan-Mu
Wahai rabb-ku, aku rindu
Rindu rindu rindu...
Aku rindu.

Sesungguhnya atas setiap nikmat-nikmat pemberian-Mu
Aku sangat membutuhkan
Bahkan butir-butir bening yang kian berjatuhan
Aku sungguh membutuhkan
Karena dengannya, hatiku menjadi lega

Sebab, begitu banyak rasa yang tak mampu kuurai
Hanya mampu menyentuh cinta-Mu dengan butir bening
yang masih saja membasahi sajadahku
Wahai dzat Yang Maha Adil, aku pasrah atas kehendak-Mu


Relung dhuha






Selasa, 17 April 2018

Aku: Isyarat Pertemuan


Bismillah...

Di bawah naungan para malaikat-Nya kuurai taburan kata yang terus berdesakan di pikiranku sejak waktu lalu. Mungkin ini adalah luahan rasa yang tak kunjung reda. Ia masih saja bertanya-tanya pada keterangan yang tampak nyata atau tidaknya.

Pernah ada masa-masa
di mana aku hanya ingin sendiri saja
Meredakan resah-resah di jiwa tanpa ada penawarnya
Hanya bersediri saja

Pernah ada masa-masa
di mana aku membutuhkan orang lain
untuk mengusir sepi yang tak lazim
hanya kunikmati sendiri.
Namun nyatanya,
ketika bersama mereka pun aku merasa hampa

Pernah ada masa-masa
di mana aku memutuskan
bahwa dunia ini terlalu luas
untuk kunikmati sendiri
dan aku ingin mencari kebahagiaan yang hakiki

Pernah ada masa-masa
kuhempas perasaan orang lain
karena Iman ku yang masih compang camping,
dan kemudian aku mendapati diri
bahwa diriku benar-benar dikuasi oleh ego-ku sendiri

Pernah ada masa-masa
aku jatuh bersimpuh di hadapan-Nya.
Merasa kehilangan arah
dan hanya kepada-Nya
tempat aku kembali berserah diri

Pernah...
_______________________

Dulu, aku pernah berpikir bahwa tak ada yang lebih baik dari orang tua ku. Sehingga aku tak membutuhkan orang lain dalam hidupku. Aku tak pernah menaruh harapan apapun pada orang lain itu, karena memang kekecewaan besar yang hanya akan menyelimuti hatiku.

Namun, seiring berjalannya waktu... Perlahan hidayah merasuk lembut menyusup ke relung-relung hatiku.


Pada sebuah pertemuan yang karena-Nya aku dan dia dipertemukan. Mungkin ini adalah perjalanan awal sehingga aku tampak berbeda dari sebelumnya.

Kisah itu bermula saat aku mengikuti sebuah daurah atau pelatihan yang diadakan oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Izzah IAIN Sumatera Utara. Aku di hadapan dengan orang-orang yang memiliki kesungguhan dalam memperbaiki diri.

Satu per satu, sebuah nama masuk dan lekat di ingatan. Ntah bagaimana bisa, namun itulah nyatanya. Aku pun ikut merasakan keanehan untuk mencoba peduli dengan orang lain. Bagaimana tidak? Dulunya, aku tak punya rasa iba pada orang lain. Karena memang Ibuku tak pernah mengajarkan aku untuk memelas belas kasihan dari orang lain. Namun, sepertinya aku salah mengerti makna dari apa yang dipesankan oleh Ibuku. Hingga akhirnya aku tumbuh menjadi remaja yang begitu angkuhnya. 

Masa putih abu-abuku hanya kuhabiskan untuk belajar dan mencoba untuk menggungguli orang lain, dalam hal apapun. Ntahlah, seperti tak ada baiknya. 

Kini, aku seperti menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang dapat kunikmati dan tentunya Allah juga meridhai. Dipertemukan dengan orang-orang yang membuatku semakin mengingati-Nya adalah sebuah anugerah yang tak mampu kujabarkan melalui kata-kata.



Setelah daurah usai, aku dikumpulkan dengan beberapa orang di satu kelompok. Meskipun aku telah mengetahui apa tujuan dikumpulkannya kami dalam sebuah kelompok tersebut, namun aku tetap mengikuti perintah kakak senior di LDK saja. Lebih aman, tanpa banyak bertanya.

Lama semakin lama, kedekatan emosional diantara kami pun terjalin. Pertemuan yang hanya berdurasi 1-2 jam dan tak lebih membuatku candu, rindu bila tidak bertemu. Kami saling menyemangati untuk datang ngaji as Liqo as Halaqah di tiap weekend. Kami saling berbagi, saling memberi. Jujur saja, aku tak berbekal ilmu agama yang kuat, matang. Pergi kuliah ke tanah rantau hanya modal bismillah dan nekat saja. Wajar bila aku jatuh hati pada kelompok kecil ini. Meskipun tak banyak materi yang kudapatkan, namun diriku terbiasa ditempa untuk langsung mengaplikasikan setiap materi yang aku dapatkan. Misalnya, untuk menegakkan sholat lima waktu dan menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah Saw.



Untuk memahami perjalanan di Tarbiyah ini, memang butuh kesabaran. Karena hikmah tidak selalu kutemukan saat aku inginkan. Melainkan hikmah datang ketika jiwaku sedang tenang dan lantas aku bersegera untuk kembali memperbaiki diri. Kadang hikmah menyentuh lembut relung hatiku saat aku sedang bersedirian dan kadang saat aku sedang dalam keramaaian. Namun, semua itu benar-benar nikmat Allah untuk mengarahkan aku agar senantiasa dalam koridor-Nya. Ketika aku lupa, Allah kembali mengingatkan. Ntah mungkin melalui teman-teman terdekatku atau guru-guruku.



Duduk melingkar, kadang di bawah naungan rindangnya pepohonan. Kadang di bawah naungan megahnya Masjid. Selain menambah kecintaan kami pada Rabb semesta alam, tentunya menambah kerinduan kami untuk sebuah pertemuan yang kami nantikan kelak. Bertemu idola sejati, Muhammad Saw. Seseorang yang tak pernah kami lihat, namun cintanya pada kami terasa begitu dekat.



Bersamamu di jalan-Nya adalah rasa yang selalu rindu. Ntah bagaimana lagi aku mampu membalas segala kebaikan-kebaikan kalian semua yang telah dan pernah membersamai langkahku yang begitu tertatih di jalan setapak ini. Kalian begitu menguatkan. Kalian begitu menegarkan. Kalian begitu mendoakan. Meski aku begitu menyadari, bahwa sesungguhnya diri ini tak pantas dibersamai oleh jiwa-jiwa nan suci lagi senantiasa dicintai oleh-Nya, Rabb kita semua.

Teruntuk yang pernah membersamai langkah ini, sungguh aku... "Ana uhibbukum fillah".

Rabu, 04 April 2018

Aku: Mesra Lagi ke Allah



Bismillah...

Setiap waktu kita mungkin saja melakukan dosa. Bahkan ketika kita selesai berdzikirpun, maka dengan segera para penyeru kemaksiatan (syaithan) datang untuk mengingatkan kita tentang banyak hal yang dapat melalaikan kita dari mengingat Allah. 
.
.
Mungkin saja tentang pekerjaan kita. Kita berupaya memikirkan cara tercepat untuk meraih keuntungan tanpa keterlibatan Allah di dalamnya. Sehingga tak elak jika syaithan lah yang turut andil dalam persoalan dunia kita. Naudzubillah.

Itulah kenapa ketika kita masih diberi waktu 24 jam yang di dalamnya terdapat waktu khusus untuk kita melakukan pendekatan ke Allah. Melalui sholat 5 waktu. Kita sholat bukan disisa-sisa waktu kerja kita, bukan. Kita bekerja hanya untuk memanfaatkan waktu penantian sholat. Sehingga, waktu-waktu sholat menjadi hal utama diantara pekerjaan kita lainnya. Ngedate bareng Allah. Wasjud waqtarib, sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Allah).

Minta solusi ke Allah, jika kita punya masalah. Minta jalan kemudahan Allah, jika kita mengalami kesulitan. Minta keberkahan Allah, jika kita masih saja merasa kekurangan atas apa saja yang telah Allah berikan.

Kembali ke Allah, jika dada kita terasa menyesakkan. Bukankah segala kelapangan datangnya dari Allah? Mungkin saat ini kita melakukan maksiat, tapi setelah itu jika masih ada kesempatan... Kenapa tidak kita bersegera menuju keampunan-Nya. Wasari'u ila maghfiroh. 

Semoga ketika kita kembali kepada-Nya dan Dia menerima taubat kita... Maka cinta-Nya yang akan terus mendekap kita sampai kita menutup usia dan kembali lagi kepada-Nya. 

Wallahu a'lam.